Skip to main content

Hidup untuk Ilmu: Jejak Ulama yang Tak Pernah Lelah Membaca dan Menulis

M Alvian Rizky Pratama

Bagaimana mungkin sebuah peradaban besar lahir tanpa tradisi ilmu yang kuat? Iya, bagaimana mungkin? Sejarah sudah kenyang jadi saksi, kalau peradaban hebat selalu bertumbuh dari tradisi keilmuan yang nggak main-main. Dan soal ini, buku “Ulama-Ulama yang Menghabiskan Hari-Harinya untuk Membaca, Menulis, dan Menebarkan Cahaya Ilmu Pengetahuan” karya K.H. Husein Muhammad, menyuguhkan cerita inspiratif soal bagaimana ulama di masa lalu hidup sepenuhnya untuk ilmu. Diterbitkan oleh IRCiSod tahun 2020 dengan tebal 165 halaman, buku ini semacam oase di tengah gempuran konten receh yang kadang bikin mikir, “ini manfaatnya apa, ya?”

Buku ini nggak cuma ngajak kita kenalan sama para ulama yang akrab sama buku dan tinta, tapi juga nyeret kita buat ngintip tradisi belajar mereka. Bukan sekadar baca doang, mereka juga menuliskan hasil bacaan itu. Dan konon, itu metode paling cespleng buat ilmu nempel lebih lama. Nggak sekadar lewat doang, tapi bener-bener meresap sampai ke sumsum ingatan. Tradisi nulis itu bukan formalitas, tapi cara efektif buat ngelawan lupa.

Selain gemar menulis, para ulama ini juga demen diskusi. Iya, diskusi. Bukan debat kusir nggak jelas juntrungannya. Buat mereka, diskusi adalah ruang tukar gagasan, memperkaya sudut pandang, dan—ini yang penting—belajar menerima perbedaan. Mereka nggak main cakar-cakaran kalau beda pendapat, malah ngobrol sambil ngopi dan ngemil kurma, mungkin. Tradisi intelektual ini yang bikin atmosfer belajar mereka adem. Beda pendapat? Biasa. Yang penting, landasannya ilmu.

Ngajar juga bukan perkara asal-asalan. Para ulama ini tahu betul, ilmu itu perlu disampaikan dengan cara yang pas. Nggak bisa asal ceramah doang. Salah satu metode mereka adalah ngajarin hal-hal yang relevan sama situasi nyata. Jadi, murid-muridnya nggak cuma paham teori, tapi juga ngerti aplikasinya di lapangan. Nggak berhenti di situ, mereka juga gemar diskusi mendalam buat memperkuat pemahaman. Topik yang lagi dipelajari dikuliti habis-habisan sampai benar-benar paham.

Dan yang paling keren, mereka tetap kalem meski beda pendapat sama murid-muridnya. Nggak ada tuh istilah “karena saya guru, saya paling benar.” Mereka malah nyontohin bahwa kebenaran itu dicari bareng-bareng, apalagi dalam perkara sosial yang abu-abu. Selama dasarnya jelas, mau beda pendapat juga sah-sah aja. Kedewasaan semacam ini yang kadang hilang di sistem pendidikan kita. Beda pandangan dikit, langsung diserang. Padahal, para ulama dulu bisa diskusi panjang lebar sambil ngopi tanpa drama. Jadi, siapa bilang belajar harus tegang dan kaku?

Buku ini semacam pengingat halus, bahwa ilmu pengetahuan itu terang. Dan terang itu tugasnya ya menyinari, bukan membakar.

Tidak ada komentar!

Tenang saja, email anda tidak akan terekspos.


Alamat Kantor

Jl. Sekeloa No. 22, Kelurahan Lebak Gede, Coblong, Kota Bandung.

Hubungi Kami
E-mail
virtucivi@gmail.com

Nomor Telepon
+6289-7910-0694