
Bandung, virtucivi.my.id – Pemerintah daerah dengan otonomi daerah sangat kuat untuk merumuskan kebijakan sangat mudah. Hal ini menjadi poin positif seharusnya karena bisa meng akomodasi kepentingan masyarakat dengan mudah namun sayangnya ini berujung pada poin raja kecil dimana otonomi khusus ini di barengi dengan politik dinasti. (04/01/25)
Hal ini membuat watak kekuasaan pada pemerintah daerah hadir sebagai manifestasi keluarga dan menimbulkan rasa bahwa teritori wilayah itu milik keluarga. Sifat yang lahir dari kekuasaan raja kecil munculnya agenda korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menjalar hampir di setiap instansi atau lembaga tertentu. Dampak dari ini masyarakat hanya di beri gigit jari sambil memandang pemimpin daerahnya menggunakan barang mewah dan mentereng dengan gayanya.
Menanggapi hal ini, Kepala Pusat Studi Politik dan Demokrasi FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Ari Ganjar Herdiansah mengatakan bahwa di sebagian daerah, iklim demokrasi masih belum mengalami kemajuan. Hal itu menurutnya ditengarai kepala daerah yang menjalankan kepemimpinannya dengan gaya feodal, merasa bahwa wilayah dan pengelolaan pemerintahan sebagai kepemilikan pribadi. Ketika di wawancara kompas 2023.
“Ada kaitannya dengan faktor sejarah reformasi politik di Indonesia yang ditandai dengan desentralisasi. Ironisnya, hal ini justru melahirkan “raja-raja kecil” di mana orang-orang kuat daerah atau local strongman menguasai struktur politik melalui pemilu. Konsekuensi dari kepemimpinan politik yang feodal adalah otoritarianisme, anti-kritik, dan menggunakan hukum sebagai instrumen kekuasaan,” kata Ari kepada Tempo.co.
Lebih lanjut, Ari menyebut pemerintahan yang dikelola dengan gaya “raja-raja kecil” ini seringkali mengandalkan cara kekerasan untuk pengendalian sosial, seperti intimidasi kepada rakyatnya yang kritis. Padahal, menurut Ari, dalam iklim demokrasi setiap orang berhak secara bebas menyampaikan pendapatnya untuk kepentingan publik.
Raja-raja kecil pada politik daerah menjadi penghambat kesejahteraan karena pusaran kekuasan terpusat pada agenda politik keluarga bukan konsepsi kerakyataan. Jika ada rakyat melakukan kritik akan di hadapkan pada posisi diskriminasi oleh pemerintahan. Hal ini budaya yang sangat buruk karena pembangunan daerah tidak akan terjadi dengan baik ketika keritik harus selalu di hadapkan pada diskriminasi pada masyarakat.
Pemerintahan daerah juga sering kali dirasa sangat feodal melahirkan budaya anti kritik antara pegawai pemerintahan ini membawa pada kehawatiran pada ruang-ruang demokratisasi dan pembangunan. Karena ruang kerja pemerintah daerah seakan-akan kerajaan di banding pengayom masyarakat yang sering di sebutkan teknokrat. Seakan istilah pengayom menjadi mitos yang di cari oleh masyarakat.
Tidak ada komentar!