
Sudah delapan puluh tahun Indonesia berdiri sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, namun kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya terlihat. Angka kemiskinan masih tajam, data Badan Pusat Statistik menunjukkan masyarakat miskin berada di angka 8,47 persen atau setara dengan 23,85 juta jiwa. Pertanyaan besar pun muncul: kemana perahu besar ini mengarah, apakah pada kerakyatan atau sekadar kursi elit yang sejahtera? Persoalan serius juga terlihat dari partai politik kita, yang kerap lebih sibuk dengan perebutan kekuasaan daripada memperjuangkan kepentingan rakyat. Politik kehilangan makna sebagai ruang gagasan dan justru terjebak dalam transaksi. Ini menjadi tanda darurat bagi bangsa, sekaligus bahan refleksi agar pekerjaan rumah dapat dituntaskan demi kedaulatan yang sejati.
Politik yang Kehilangan Arah
Partai politik seharusnya menjadi ruang artikulasi kepentingan rakyat, namun kenyataannya sering terjebak dalam perebutan kursi kekuasaan. Visi kebangsaan yang mestinya diusung justru tereduksi menjadi perhitungan elektoral semata. Politik praktis melahirkan oligarki, di mana kepentingan publik dikorbankan demi kepentingan elite. Banyak kader partai tampil dengan retorika kerakyatan, namun berbalik arah ketika sudah berada di kursi jabatan. Kekecewaan publik terhadap partai politik makin besar karena janji-janji perubahan tak pernah ditepati. Padahal, sejarah bangsa ini mencatat peran politik yang berakar pada perjuangan rakyat. Jika politik tidak segera dibersihkan dari praktik transaksional, maka perahu besar Indonesia akan terus kehilangan arah.
Refleksi Gerakan Kerakyatan
Organisasi masyarakat menjamur, tetapi gerakannya tidak terukur dan sering tumpul dalam narasi perebutan kursi. Banyak organisasi menggadaikan visi serta misinya pada kepentingan jabatan publik yang kompromis, sehingga akar-akar gerakan kerakyatan hilang. Hal ini menjadi kendala besar karena ruang perjuangan rakyat berubah menjadi arena kapitalisasi. Posisi organisasi ekstra kampus sebagai gerakan ekstra parlementer pun dinilai kurang optimal dalam menjawab problem nyata masyarakat. Politik internal sering dipengaruhi patronase senior, hingga organisasi kehilangan arah perjuangannya. Sejarah membuktikan bahwa gerakan rakyat pernah membawa bangsa ini menuju kemerdekaan. Maka, sudah seharusnya organisasi kembali berpijak pada masyarakat, bukan pragmatisme politik.
Birokrat Bukan Pengayom
Permasalahan juga terjadi pada para birokrat, yang seharusnya berfungsi sebagai aparatur sipil negara dan pengayom publik. Sayangnya, sebagian justru merasa memiliki kekuasaan atas kebijakan yang kerap menindas masyarakat kecil. Dinas yang dibentuk untuk membangun tata kelola publik seringkali tidak optimal, bahkan terjebak pada birokrasi seremonial yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat. Kritik banyak terdengar di ruang publik tentang birokrat yang lebih sering memperjualbelikan kebijakan daripada menyelesaikan persoalan. ASN harus diingatkan kembali bahwa tugasnya adalah pelaksana undang-undang, bukan penguasa. Amanah itu menuntut kesadaran bahwa setiap keputusan harus berpihak pada rakyat. Tanpa kesadaran tersebut, perahu besar bernama Indonesia sulit berlayar ke arah tujuan.
Pengusaha Akali Kebijakan
Pengusaha memiliki peran vital dalam negara karena mereka menjadi pelumas pembangunan. Dengan modal besar, mereka mampu mempercepat penyelesaian kebutuhan masyarakat, meskipun orientasinya tetap keuntungan. Namun, persoalan muncul ketika pengusaha mengakali kebijakan demi kepentingan sempit. Kasus penyerobotan lahan seperti di Dago Elos menjadi gambaran nyata bahwa kapital dapat memanipulasi hukum. Begitu pula praktik penghindaran pajak dengan menyamarkan perusahaan besar sebagai UMKM agar terhindar dari tarif resmi. Pola ini merugikan negara sekaligus menghambat daya serap pajak. Jika dibiarkan, pembangunan nasional akan timpang. Pengusaha memang pelumas roda ekonomi, tetapi bangsa yang kuat lahir dari kepatuhan pada aturan main. Aturan harus ditegakkan agar persaingan sehat dapat terwujud.
Kesimpulan: Kolaborasi Peran
Delapan puluh tahun perjalanan Indonesia adalah momentum untuk merefleksikan arah bangsa. Partai politik harus kembali menjadi ruang gagasan, bukan sekadar transaksi kekuasaan. Organisasi masyarakat dan ekstra kampus harus berpihak pada rakyat, bukan pragmatisme politik. Aparatur sipil negara wajib meneguhkan dirinya sebagai pengayom, bukan penguasa. Pengusaha mesti menghormati aturan, bukan mengakalinya demi keuntungan sepihak. Semua elemen bangsa memiliki peran yang berbeda tetapi saling melengkapi. Refleksi ini hanya bermakna jika dijawab dengan langkah nyata dari semua pihak. Arah besar bangsa menuju kesejahteraan dan kedaulatan hanya bisa tercapai dengan kolaborasi.
Tidak ada komentar!