Skip to main content

Kekaburan Arah Partai Politik Era Reformasi.

M Alvian Rizky Pratama

Pasca peristiwa G30S/PKI, peta politik Indonesia mengalami pergeseran besar-besaran. Orde Baru membangun narasi tunggal tentang politik: semua perbedaan ideologis dianggap ancaman. Pemikiran yang sedikit saja melenceng dari garis resmi negara bisa dicap sebagai “subversif” atau “membahayakan persatuan”. Inilah awal dari pemangkasan habis-habisan nalar ideologis dalam partai politik.

Akibatnya, partai-partai kehilangan posisi ideologis yang tegas. Politik tidak lagi menjadi arena pertarungan gagasan, tapi berubah menjadi ajang seragam—di mana “perbedaan” sebatas atribut dan slogan, bukan fondasi nilai perjuangan.


Dampak Pembungkaman Ideologi

Gerakan politik yang dilucuti secara paksa membawa efek panjang, masyarakat kehilangan panduan jelas dalam menentukan pilihan politik. Karena tidak ada irisan ideologis yang tajam antar partai, pemilu menjadi semacam ritual lima tahunan yang minim makna.

Meski kini ada label “nasionalis” dan “religius”, pada kenyataannya arah kebijakan dan praktik politiknya sering kali nyaris sama. Perbedaan itu lebih banyak terasa di simbol dan identitas, bukan di kebijakan publik atau keberpihakan yang nyata.


Kontras dengan Era Orde Lama

Jika kita menoleh ke masa Orde Lama, peta ideologis partai politik justru sangat jelas. Kita bisa mengidentifikasi keberpihakan hanya dengan melihat akar ideologi masing-masing partai.

  • PKI (Partai Komunis Indonesia) → berbasis komunisme, berpihak pada buruh dan tani secara radikal.
  • PSI (Partai Sosialis Indonesia) → sosialis, juga pro buruh-tani, tetapi dengan pendekatan lebih moderat dan kebijakan ekonomi yang terencana.
  • PNI (Partai Nasional Indonesia) → nasionalis, mengusung Marhaenisme, mengakomodasi kepentingan petani dan kelompok kecil.

Perbedaan ini tidak sekadar kosmetik, tapi membentuk sikap politik, kebijakan, hingga jaringan massa masing-masing. Masyarakat tahu persis siapa yang membela mereka, karena ideologi menjadi panduan nyata dalam bertindak.


Era Reformasi Hilangnya Arah dan Representasi

Di era Reformasi, meski kebebasan politik kembali dibuka, warisan Orde Baru tetap membekas: partai-partai enggan atau gagal membangun garis ideologis yang jelas. Akibatnya, keberpihakan menjadi kabur.

Inilah yang melahirkan narasi sinis di tengah masyarakat:

“Buat apa memilih, kalau nasib bangsa tetap begini-begini saja?”

Kekecewaan ini muncul karena publik merasa tidak ada partai yang benar-benar mewakili kepentingan spesifik mereka. Tanpa ideologi yang kuat, partai lebih mirip “kendaraan” kekuasaan dibanding wadah perjuangan nilai.


Tantangan Kebangkitan Ideologi

Kekosongan ideologis ini menjadi tantangan besar demokrasi kita. Politik tanpa arah nilai hanya menghasilkan pragmatisme jangka pendek, bukan perubahan struktural. Jika partai politik ingin merebut kembali kepercayaan publik, mereka perlu berani kembali ke akar membangun garis perjuangan yang jelas, menyatakan keberpihakan secara terbuka, dan menanamkan ideologi sebagai panduan, bukan sekadar hiasan di AD/ART.

Tidak ada komentar!

Tenang saja, email anda tidak akan terekspos.


Alamat Kantor

Jl. Sekeloa No. 22, Kelurahan Lebak Gede, Coblong, Kota Bandung.

Hubungi Kami
E-mail
virtucivi@gmail.com

Nomor Telepon
+6289-7910-0694