Ruwat bumi, atau sering juga disebut hajat bumi, adalah kegiatan yang biasanya dilakukan setelah panen sawah atau hasil pertanian. Tradisi ini masih sering dilaksanakan di Kabupaten Subang, terutama di daerah seperti Desa Rancabango, Desa Belanakan, dan lainnya.

Prosesi ruwat bumi atau ngaruat merupakan bentuk ungkapan rasa syukur para petani kepada bumi atas hasil panen yang melimpah dan kelancaran dalam bercocok tanam. Namun, saat ini proses ngaruat telah disesuaikan dengan nilai-nilai keislaman dalam bentuk syukuran.

Kata “ruwat” berarti merawat bumi. Hal ini sangat menarik, karena pada kegiatan ruwat bumi, masyarakat desa berkumpul untuk memeriahkan acara. Dalam prosesnya, biasanya diadakan pengajian, pawai keliling kampung sambil membawa hasil bumi, serta makan bersama untuk mempererat kebersamaan masyarakat desa.

Kegiatan ini memiliki banyak nilai positif, seperti menjaga kebersamaan antarwarga sekaligus membangun budaya gotong royong. Tradisi ini menciptakan ekosistem sosial yang sehat, di mana masyarakat saling membantu satu sama lain dan menyadari pentingnya relasi sosial.

Dari segi nilai budaya dan lingkungan, ruwat bumi juga memiliki makna mendalam. Tradisi ini menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam: apa yang diambil dari alam harus dikembalikan. Misalnya, tanaman yang dipanen harus diganti dengan menanam yang baru.

Budaya merawat ini sangat relevan di tengah tantangan kerusakan lingkungan yang semakin masif saat ini. Tradisi ruwat bumi dapat menjadi sarana edukasi yang menarik untuk meningkatkan kesadaran lingkungan. Ruwat bumi bukan hanya tradisi, tetapi juga cara membangun kesadaran untuk menjaga alam, merawat bumi, dan mempererat hubungan sosial.

Urgensi tradisi ruwat bumi terletak pada nilai-nilai mendalam yang terkandung di dalamnya. Di era modern yang semakin individualis, tradisi agraria seperti ini menawarkan konsep yang relevan untuk menjaga bumi dan membangun solidaritas sosial.